Penegakan Hukum Indonesia

Sabtu, 06 Agustus 2011

HUKUM AGRARIA MASA KOLONIAL BELANDA

Masa Pemerintahan Gubernur Johanes van den Bosch.
 
—Pada tahun 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch menetapkan kebijakan pertanhan yang dikenal dengan sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel.
—Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak lengsung dibutuhkan oleh pasar internasional paa waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan apapun, sedangkan bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahun.
—Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian telah membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Di samping pada dasarnya para penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup luas dengan jaminan yang kuat guna dapat mengusahakan dan mengelola tanah dengan waktu yang cukup lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yagn biasa disewa adalah tanah-tanah negara nyang masih kosong.
 
 DAMPAK DI BIDANG PERTANIAN 
 
Culture stelsel menandai dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di indonesia secara luas yang semula dikembangkan untuk kepentingan keindahan taman namun mulai dikembangkan secara meluas yang merupakan tanaman asli yang populer peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi
 
 TUJUAN AGRARISCHE WET (AW)
 
Bahwa tujuan utama dari AGRARISCHE WET (AW) adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat beerkembang di hindia belanda. 
PADA MASA AGRARISCHE WET STB.55-1870  
AGRARISCHE WET adalah suatu undangundang yang dibuat di negei belanda pada tahun 1870. agrarische wet (AW) diundangkan dalam s1870 – 55 sebagai tambahan ayatayat baru pada pasal 62 regering reglement (RR) Stb. 1854 no 2 semula RR terrdiri dari atas 3. dengan tambahan 5 ayat baru ( ayat 4 sampai dengan ayat 8 ) agararische wet maka pasal 62 RR terdiri atas 8 ayat.
 
 ISI PASAL 62 RR..
 
1.Gubernur jenderal tidak boleh menjual tanah
2.Dalam tanah diatas tidak termasuk tanah -  tanah yang tidak luas
3.Gubernur jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuanketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi.
4.Menurut ketentuan dengan ordonansi diberikan tanh dengan hak erfpacht lain selama tidak lebih dari 75 tahun.
5.Gubernur jenderal menjaga jangan sampai terjadi  pemberian tanah yang melanggar hakhak rakyat pribumi.
6.Gubernur jenderal tidak bolegh mengambil tanahtanah kepunyaan rakyat asal pembukaan hutan untuk kepentingan sendiri
7.Tanah yang dipunyai oleh orang pribumi dengan hak pakai pribadi yang turun temurun atas permintaan pemiliknya yang sah dapat diberikan kepadanya dengan hak eigendom.
8.Persewaan atau serah pakai tanah oleh orangorang pribumi kepada nonpribumi dilakukan menurut ketentuan yang diatur dengan ordonansi.  
 
Masa Pendudukan Jepang

C.MASA PENJAJAHAN JEPANG
Peraturan-peraturan pertanahan yang berlaku sebelum masa penjajahan
Jepang masih tetap berlaku, karena masa penjajahan yang begitu singkat belum
sempat terpikirkan untuk mengadakan perombakan terhadap hukum pertanahan.
Tidak banyak yang dapat diuraikan tentang hukum agraria pada jaman Jepang,
keculai kekacauan dan keadaan yang tidak menentu terhadap penguasaan dan hakhak
atas tanah sebagaimana layaknya pada keadaan perang
 

Label:

Mengenai Lapas Sumpah Di pengadilan (saksi)

Ø  Dengan dasar hukum, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pasal 160 ayat 3.

a.       Bagi saksi yang beragama Isalam dengan cara ;
“Menaruhkan Al-Qur’an diatas kepala dengan mengatakan”
 “Demi Allah ( Wallahi)”
 “Saya bersumpah, saya akan mengatakan yang sebenar
   benarnya, tidak lain dari pada sebenarnya”

b.      Bagi saksi yang beragama Kristen  Prostetan, dengan cara;
“Berdiri sambil mengangkat tangan  kanan setinggi telinga,merentangkan jari
  telunjuk dan tengah, membentuk huruf  “V” tangan kiri ditas injil.
“Saya Berjanji”.
“Bahwa saya akan menerangkan dengan sebenar-benarnya dan tiada lain, dari pada
  yang sebenar-benarnya, semoga Tuhan menolong saya”

c.       Bagi saksi yang beragama Kristen Khatolik, dengan cara;
“Berdiri sambil mengangkat tangannya tangan setinggi telinga, merentangkan jari
  telunjuk, tengah, dan jari manis. Sehinggah membentuk huruf “W”.
“Saya Berjanji”.
“Bahwa saya akan menerangkan dengan sebenar-benarnya dan tiada lain, dari pada
  yang sebenar - benarnya, semoga Tuhan menolong saya”.

d.      Bagi saksi yang beragama Hindu, dengan cara;
“OM ATAH PRAMA WISESA”.
“Saya Bersumpah”.
“Bahwa saya akan menerangkan dengan sebenar-benarnya, dan tiada lain dari pada
  sebenarnya”.

e.       Bagi saksi yang beragama Budha, dengan cara;
“Berdiri sambil merapatkan kedua telapak tangan di dada”.
“DEMI SANG HYANG ADI BUDHA”.
“Bahwa saya akan menerangkan dengan sebenar-benarnya, dan tiada lain dari pada
  sebenarnya”.

f.       Bagi saksi yang beragama Khong Huon Cuh, dengan cara;
“Sebelu disumpah, terlebih dahulu datang ke ketempat ibadah mereka untuk
  bersembayang didepan patung/gambar Dewi Quang In, setelah itu dibawa,
  Kepengadilan Negeri”.
“Bahwa saya akan menerangkan dengan sebenar-benarnya, dan tiada lain dari pada
  sebenarnya”.

g.      Bagi saksi Ahli, dengan cara;
“Di sesuaikan dengan Agama yang dianut,seperti yang diatas”.
“Saya bersumpah/berjanji. Bahwa, saya memberikan pendapat soal-soal yang
  dikemukakan menurut pengetahuan dan keahlian saya dengan sebenara-benarnya”.

h.      Bagi saksi Penerjemaah, dengan cara;
“Di sesuaikan dengan Agama yang dianut,seperti yang diatas”.
“Bahwa saya sebagai Pnerjemaah akan menerjemaahkan semua hal-hal atau
  keterangan-keterangan yang diberikan oleh saksi denga sebenar-benarnya tiada lain,
 dari pada yang sebnarnya”.
             

            Dalam lapas sumpah ini terdapat dua cara,yaitu;
1.      Lapas Sumpah di Bawah Sumpah adalah saksi bersumpah sebelum memberikan keterangan.
2.      Lapas di Atas Sumpah adalah saksi bersumpah sesudah memberikan keteranga.

Dalam sidang di pengadialan saksi pada lazimnya menggunakan “Lapas Sumpah di Bawah Sumpah”.

Minggu, 31 Juli 2011

SBY Dorong Proses Hukum Terhadap Nazaruddin

TEMPO Interaktif, Jakarta – Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Kastorius Sinaga, meminta kepada aparat penegak hukum untuk memproses dugaan gratifikasi terhadap Nazaruddin. Menurut dia, sikap itu merupakan pesan yang ingin disampaikan SBY ketika memberikan klarifikasi bersama Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahdud MD, terkait kasus tersebut hari ini. Pernyataan tersebut merupakan upaya SBY untuk mengklarifikasi polemik di seputar masalah Nazaruddin. Saya kira proses selanjutnya adalah proses di luar partai, yakni proses hukum, ujar Ketua Dewan Pimpinan Pusat partai Demokrat, Kastorius Sinaga, ketika dihubungi, 20 Mei 2011.Muhammad Nazaruddin, bendahara Partai Demokrat itu dikabarkan pernah menyerahkan uang sebesar US$ 120 ribu kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi, Janedri M. Gaffar sebagai bentuk pertemanan. Peristiwa itu pun telah terkonfirmasi oleh penjelasan Mahfud bersama Presiden SBY hari ini. Menurut Kastorius, sikap SBY tersebut merupakan langkah yang ditempuh guna meredakan gonjang-ganjing yang dialamatkan kepada Nazaruddin sebagai salah seorang pejabat partai. SBY hendak mengembalikan martabat dan kehormatan partai, katanya. Sikap tersebut, kata Kastorius, hendaknya segera direspon dewan kehormatan partai. Ini momentum untuk bersih-bersih. Partai Demokrat harus memberikan contoh sebagai partai yang memiliki komitmen memberantas dugaan korupsi, katannya. Bahkan, Kastorius juga membenarkan bahwa SBY pernah mengajukan opsi agar Nazaruddin mengambil opsi pengunduran diri atau dipecat. Praktek gratifikasi merupakan pelanggaran disiplin partai yang sangat serius. Hari ini SBY bahkan menyatakan secara tergas kasus tersebut bukanlah persoalan yang remeh-temeh, katanya. Sikap Kastorius nampaknya tidak berjalan satu nafas dengan kader Partai Demokrat yang lain. Juru Bicara Partai Demokrat, Ruhut Sitompul menilai keputusan terhadap Nazaruddin hendaknya diambil jika fakta hukum terkait dugaan gratifikasi itu telah diklarifikasi dalam sidang. Sinaga itu siapa? Dia itu orang baru kemarin, apa tidak jadi pahlawan kesiangan? katanya.RIKY FERDIANTO

Dilema Penegakan Hukum di Indonesia

Oleh: Mujahid A.Latief

DALAM sebuah panel diskusi bertajuk "Peluang Peradilan satu Atap dalam Membangun Profesioanlisme dan Integritas Hakim", Satjipto Rahardjo mengatakan perlu adanya rekonseptualisasi makna hukum - apa yang kita maknai hukum (what mean by law). Satjipto Rahardjo menilai dominasi pemahaman hukum yang terjadi saat ini cenderung legalistik - positifistik. Satjipto berkeyakinan bahwa hukum itu not only stated in the book tetapi juga hukum yang hidup di masyarakat (living law).

Reformasi yang telah berlangsung sejak tahun 1998 harus diakui telah melahirkan sejumlah perubahan instrumental, meski diakui juga bahwa perubahan tersebut masih banyak kelemahannya. Banyaknya kelemahan tersebut karena reformasi tidak punya paradigma dan visi yang jelas alias hanya tambal sulam, contohnya reformasi peradilan yang terwadahi dalam empat paket undang-undang yang berkaitan dengan peradilan hanya lebih banyak memfokuskan pada peradilan satu atap (Beny K. Harman).

Gambaran yang disampaikan oleh Beny K.Harman dan Satjipto tersebut bisa menjadi gambaran bagi kita semua dalam melihat wajah reformasi hukum Indonesia. Benar bahwa saat ini telah banyak aturan hukum yang mendorong kearah reformasi sebagaimana tuntutan masyarakat. Benar bahwa sudah banyak lembaga yang memiliki peran untuk memperbaiki sistem peradilan kita, sebut saja misalnya lahirnya KPK, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, dan Timtastipikor.

Ekspektasi masyarakat terhadap lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan baru dan lembaga baru tersebut sangat tinggi. Tetapi ekspektasi masyarakat seringkali tidak sejalan dengan realitas yang ada. Kita sering mendengar banyak tersangka koruptor tetapi akhirnya masyarakat juga kurang puas dengan putusan akhirnya. Mengapa sering terjadi hakim membebaskan terdakwa atau setidak-tidaknya hukumannya sangat ringan. Apakah sedemikian tajam perbedaan pemahaman fakta hukum di persidangan antara hakim dan Jaksa. Argumentasi hukum apa yang mereka pergunakan, adakah paradigma legalistik-posifistik semata yang dipergunakan ataukah ada unsur lain yang ikut mempengaruhi - adalah deretan pertanyaan publik yang belum ada akhirnya.

Lembaga peradilan sebagai institusi yang memiliki kekuasaan yang besar dalam menentukan arah penegakan hukum berada dalam posisi yang sentral dan selalu menjadi pusat perhatian masyarakat. Sayangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Bagaimana seharusnya agenda reformasi hukum khususnya pemberantasan korupsi dilakukan?

Seorang tokoh reformis China yang hidup sekitar abad 11 mengemukakan, ada dua unsur yang selalu muncul dalam pembicaraan masalah korupsi yaitu hukum yang lemah dan manusia yang tidak benar. Tidak mungkin menciptakan aparat yang bersih hanya semata-mata mendasarkan rule of law sebagai kekuatan pengontrol (social control). Ia berkesimpulan dalam memberantas korupsi dibutuhkan penguasa yang punya moral tinggi dan hukum yang rasional serta efisien (Mujahid:2000)

Dalam sejarahnya "upaya" pemberantasan korupsi sudah berlangsung sejak tahun 1958, yakni dengan lahirnya berbagai institusi dan peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk memberantas korupsi, akan tetapi korupsi di Indonesia selalu saja menempati urutan yang tinggi .

Seiring dengan tuntutan reformasi yang tuntutan paling penting adalah reformasi dibidang hukum, yang bermuara pada tuntutan agar pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah mewabah di Indonesia dapat dilakukan. Puncak dari tuntutan tersebut melahirkan instrumen hukum dalam rangka memberantas korupsi yang terlihat pada Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tap MPR tersebut telah dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada dibawahnya dan terakhir adalah lahirnya UU No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan berbagai instrumen hukum lain yang diarahkan untuk penegakan hukum.

Harus diakui kenyataannya sampai saat ini berbagai instrumen hukum yang ada belum menunjukkan hasil yang maksimal dalam pemberantasan korupsi. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan Negara semata, akan tetapi telah melanggar hak asasi manusia dalam bidang sosial dan ekonomi. Kejahatan korupsi yang dikategorikan sebagai suatu kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary Crime) - penanganannya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa dalam bingkai due process of law, tidak dilakukan dengan cara konvensional.

Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan hanya mendasarkan instrumen hukum yang ada, akan tetapi harus didukung oleh kemauan politik yang kuat dari semua cabang kekuasaan Negara (eksekeutif, legislatife dan yudikatif). Tidak dapat dipungkiri korupsi terjadi berkaitan erat dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh kekuatan politik seperti ungkapan Lord Acton power tend to corrupt and absolutely power tends to corrupt absolutely.

Dengan adanya intstrumen hukum yang sudah memadai saat ini, mestinya pemberantasaan KKN relatif lebih mudah. Hanya saja penyelesaiannya sangat tergantung pada political will. Pemberantasan korupsi hanya akan tercapai manakala kekuasaan politik dan penegak hukum dipegang oleh orang yang punya integritas dan keberanian. Berbagai kasus yang melibatkan pejabat publik yang tidak jelas ujungnya tidak saja melecehkan hukum akan tetapi menghina rasa keadilan masyarakat. Karena itu setiap aparat penegak hukum harus memiliki komitmen yang sama untuk memberantas korupsi, meminjam intilah Satjipto ketika seorang aparat penegak hukum menangani kasus korupsi dia tidak boleh datang dengan netral tetapi harus datang predesposisi tertentu dengan semangat untuk memberantas korupsi. Dengan demikian penegakan hukum akan menyentuh kepastian dan keadilan bagi masyarakat. ***

Label: